Selasa, 07 Januari 2014

Islam dan Resiliensi



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Islam dengan hukum hukum dan aturan yang termuat didalamnya telah mengatur segala tingkah laku manusia didunia, tingkah laku perorangan hingga kelompok telah diatur oleh islam agar setiap manusia menempuh jalan  yang bisa mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagian dunia dan akhirat. Dalam hidupnya, seorang individu pastilah memiliki banyak pengalaman, baik itu yang menyenangkan hingga yang tidak menyenangkan. Dalam setiap pengalaman yang dilalui seseorang niscaya ada masalah didalamnya, dan  masalah setiap orang pastilah berbeda beda. Dengan adanya masalah manusia menjadi selalu berpikir untuk menjadi lebih baik, dengan adanya masalah itulah seseorang menjadi dewasa. Setiap masalah tidaklah memiliki jalan keluar yang sama, ada yang cepat teratasi namun juga ada yang memerlukan pengorbanan besar untuk menyelesaikanya. Begitu juga individu yang memiliki masalah itu, ada yang tahan terhadap masalahnya namun juga ada yang tidak kuat dalam menyelesaikannya bahkan mereka rela berbuat dosa besar karena mereka merasa tidak dapat menyelesaikannya. Bagaimana islam mengajarkan manusia dalam menghadapi masalah? Apakah Allah memberikan masalah kepada manusia tanpa melihat kemampuan hamba-Nya?. Dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan hubungan islam dengan kemampuan untuk bangkit dari masalah (resilience), semoga dengan penulisan makalah ini para pembaca dapat mengetahui apa itu resiliensi dan bersikap positif terhadap setiap masalah yang kita hadapi.
2.      Rumusan masalah :
A.    Pengertian
B.     Faktor – Faktor Resiliensi
C.     Komponen Resiliensi
D.    Tahap Pembentukan Resiliensi
E.     Ajaran Islam Tentang Resiliensi



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Istilah resiliensi diintrodusir oleh Redl pada tahun 1969 dan digunakan untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan individual dalam respons seseorang terhadap stress dan keadaan yang merugikan (Adversity) lainnya (smet, 1994).[1] Istilah resiliensi sendiri muncul sebagai pengganti istilah istilah sebelumnya seperti : “invulnerable” (kekebalan), “invincible” (ketangguhan), dan “hady” (kekuatan), karena dalam proses menjadi resilien tercakup pengenalan rasa sakit, perjuangan dan penderitaan (Henderson & Milstein, 2003).[2]
Meskipun istilah resiliensi telah diterima dan digunakan secara luas, namun belum terdapat kesesuaian dalam memberikan definisi tentang resiliensi itu. jika diartikan dalam bahasa Indonesia, pengertian resiliency malah mungkin akan membingungkan, seperti gaya pegas, gaya kenyal, kegembiraan, keuletan (Echols & Shadily, 1997).[3] Berikut ini beberapa pengertian resiliensi menurut para ahli :
Resiliensi adalah “the human capacity to face, overcome, be strengthened by, and even be transformed by experiences of adversity”(Grotberg, 1999 : 10).
Sedangkan Werner (2003 : 7) mendefinisikan resiliensi sebagai “the capacity to spring back, rebound, successfully adapt in the face of adversity, and develop social academic, and vocational competence despite exposure to severe stress or simply to the stress that is inherent in today’s world”.
Sementara itu Richardson, dkk (1990 : 7) mendefinisikan resiliensi sebagai “the process of coping with disruptive, stressful, or challenging life events in way that provides the individual with additional protective and coping skills than prior to the disruption that result from the event”.
Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (revich dan Shatte, 2002).[4]
Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa resiliensi (daya lentur, ketahanan) adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi (Desmita, 2005).[5]
B.     Faktor Faktor Resiliensi
Secara umum resiliensi dipengaruhi oleh dua hal yaitu :  Pertama kemampuan adaptasi seseorang, ketika seseorang memiliki kemampuan adaptasi yang baik, namun tidak berada dalam kondisi yang beresiko maka belum dapat dikatakan sebagai seseorang yang resilien. Kedua, besarnya resiko yang dihadapi, ketika seseorang dalam keadaan yang beresiko namun ia tidak dapat beradaptasi dengan baik maka ia juga belum dapat dikatakan sebagai seorang yang resilien. Jadi, dengan melihat kemampuan adaptasi dan besarnya resiko yang dihadapi seseorang kita dapat mengetahui apakah ia seorang yang resilien atau tidak.
Grotberg menjelaskan faktor faktor resiliensi yang dapat membantu individu mengatasi berbagai adversities. Grotberg (2003 : 3-4) mengelompokkannya menjadi 3 faktor yaitu :
1)      External support
External support merupakan faktor-faktor diluar individu yang dapat meningkatkan kemampuan resilien. Grotberg menjelaskan sebagai I HAVE, yaitu :
a.       Satu atau lebih angggota keluarga yang dapat dipercaya dan mencintai individu tersebut
b.      Satu atau lebih individu di luar keluarga yang dapat dipercaya.
c.       Memiliki batasan bertingkah laku,
d.      Orang orang yang memberikan semangat untuk mandiri.
e.       Good role models
f.       Akses untuk mendaptkan fasilitas kesehatan, pendidikan dan sosial yang dibutuhkan,
g.      Keluarga komunitas yang stabil
2)      Inner Strength (I AM)
Merupakan sesuatu yang dimiliki individu yang akan berkembang sepanjang waktu. Grotberg menjelaskannya sebagai kualitas yang dimiliki individu yang dijelaskan sebagai I am. Diantaranya adalah kepercayaan diri atas kemampuan pribadi, optimis, disukai banyak orang, memiliki keinginan untuk meraih prestasi dimasa depan, empati dan kualitas diri lainnya.
3)      Problem Solving (I CAN)
Yang termasuk dalam hal ini adalah kemampuan memunculkan ide ide baru, mampu menyelesaikan tugas, menggunakan humor untuk meredakan ketegangan, mampu menyampaikan pemikiran dan perasaan ketika berkomunikasi dengan orang lain, mampu menyelesaikan berbagai masalah (akademik, pekerjaan, personal dan sosial), mampu mengendalikan tingkah laku (perasaan, impuls) serta mampu meminta bantuan ketika dibutuhkan.
C.     Komponen Resiliensi
Resiliensi mencakup tujuh komponen, yaitu: regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, analisis penyebab masalah, empati, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif (Reivich dan Shatte, 2002), yang dijelaskan sebagai berikut :
a)      Regulasi emosi, adalah kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi yang penuh tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang marah dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau kesal sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien.
b)      Pengendalian impuls, merupakan kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran. Individu mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.
c)      Optimisme, individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu memiliki harapan di masa depan dan percaya dapat mengontrol arah hidupnya. Dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, tidak mengalami depresi, berprestasi lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan lebih berprestasi dalam olahraga. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang.
d)     Empati, menggambarkan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain.
e)      Analisis penyebab masalah, yaitu merujuk pada kemampuan individu untuk secara akurat mengidentifikasi penyebab-penyebab dari permasalahan individu. Jika individu tidak mampu memperkirakan penyebab dari permasalahannya secara akurat, maka individu akan membuat kesalahan yang sama.
f)       Efikasi diri, merupakan keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam  memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang dialami.
g)      Peningkatan aspek positif, Resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup . Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.
D.    Tahap Pembentukan Resiliensi
Grotberg menjelaskan proses pembentukan kemampuan resiliensi melalui lima tahap resilience building blocks yang dimulai sejak anak berusia dini, yaitu trust (usia 1 tahun), autonomy (2-3 tahun), initiative (4-5 tahhun), industry (6-11 tahun), identity (usia remaja) dimana tahap tersebut individu akan mengembangkan I Have, I Am dan I Can. Tahap-tahap tersebut diterangkan sebagai berikut :
1)      Trust
Merupakan tahap resiliensi yang paling dasar, trust adalah trait yang mengindikasikan bahwa individu dapat mempercayai orang lain berkaitan dengan hidupnya, kebutuhan-kebutuhannya dan perasaan-perasaannya. Trust juga mengindikasikan bahwa individu dapat mempercayai diri sendiri, kemampuan-kemampuan pribadi dan masa depannya.
2)      Autonomy
Merupakan tahap pembentukan resiliensi kedua, autonomy menunjukkan kesadaran individu bahwa dirinya terpisah dari orang lain. Kesadaran ini memungkinkan individu untuk memahami bahwa individu mendapatkan respons dari lingkungannya dan sebaliknya.
3)      Initiative
Pada tahap ini, individu mulai mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya untuk menjadi orang yang resilien. Individu mengembangkan inisiatif, menuntaskan penyelesaian tugas-tugas, ingin membantu anggota keluarga dan teman dalam melakukan berbagai aktivitas.
4)      Industry
Kemampuan individu untuk meningkatkan kemampuan sosialnya sangat dibutuhkan dalam tahap ini. Seorang individu mempunyai keinginan untuk sukses dan memiliki self image untuk berprestasi, ingin mendapat pengakuan dari orang sekitarnya,guru, orang tua, teman sebaya bahwa individu telah berusaha keras untuk menunjukkan prestasi.
5)      Identity
Merupakan tahap terakhir dari resiliensi building blocks menurut grotberg, pada tahap ini individu mencampai identitas yang mencangkup dua hal penting, yaitu kematangan seksual dan mengembangkan kapabilitas mental yang tinggi untuk menganalisis dan merefleksikan diri.
E.     Ajaran Islam tentang Resiliensi
Konsep resiliensi memiliki kesamaan dengan ajaran Hijrah dalam Islam. Hijrah berarti At-Tarku yang artinya berpindah atau meninggalkan, baik meninggalkan tempat maupun meninggalkan sesuatu yang tidak baik. Secara terminologi Hijrah mengandung dua makna, yaitu Hijrah Makaniyah (tempat/fisik) dan Hjrah Maknawiyah (Hijrah mental) atau disebut juga hijrah qalbiyah (hijrah hati). Hijrah Makaniyah artinya berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju tempat yang lebih baik, dari suatu negeri ke negeri lain yang lebih baik. Sedangkan Hijrah Maknawiyah artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menujunilai yang lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran. Perpindahan dari hal yang bersifat negatif menuju hal yang bersifat positif. Lebih lanjut pengembangan resiliensi dalam Islam didukung oleh beberapa faktor, antara lain: Ikhtiar, Tawakkal, Sabar, Ikhlas, Syukur dan Istiqomah. Selain itu pengembangan resiliensi juga dipengaruhi faktor eksternal, yang dalam Islam diajarkan kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian.
Al-qur’an sebagai petunjuk umat-Nya merupakan kitab yang mengatur kehidupan manusia paling lengkap, demikian juga tentang bangkit dari keterpurukan (resiliensi). Dalam QS Al Baqarah ayat 214 Allah berfirman :
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga rasul dan orang orang bersamanya berkata ‘kapankah datang pertolongan allah?’ ingatlah sesungguhnya pertolongan allah itu dekat”.
Kemudian dalam QS Al Baqarah : 155-156 Allah berfirman :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ﴿١٥٥﴾ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴿١٥٦﴾
 “Dan kami menguji kamu dengan dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan, dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar ◌ (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun’ ”.
Firman Allah tersebut dapat diartikan bahwa tak ada satupun orang didunia ini yang tidak diberi masalah oleh Allah, orang-orang di zaman kita, sebelum kita bahkan generasi penerus kita pasti akan memiliki masalah. Dengan menyerahkan segala apa yang terjadi kepada Allah dan segala apa yang ada di dunia ini adalah milikNya membuat jiwa seseorang akan merasa tenang dan menghindarkan diri dari sikap kekecewaan dan putus asa. Dan hanya orang orang yang mampu bertahan untuk menyelesaikan masalah dan mampu bangkit kembali yang akan mendapatkan kesenangan dari Allah sebagai balasan atas keberhasilannya menghadapi masalah. Dari situ dapat kita pahami bahwasannya resiliensi dalam islam merupakan sebuah kewajiban, dengan memiliki resiliensi berarti seorang hamba telah teruji keimanannya dan ketangguhannya sebagai seorang muslim. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwasannya allah mencintai hambanya yang kuat daripada hambanya yang lemah.
Allah berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...” QS. 2 : 286
Kemudian :
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ ﴿١﴾ وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ ﴿٢﴾ الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ ﴿٣﴾ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ ﴿٤﴾ فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿٦﴾ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ﴿٧﴾ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ ﴿٨﴾
“Bukankah kami telah melapangkan dadamu (muhammad)? Dan kami telah menurunkan bebanmu darimu. Yang memberatkan punggungmu. Dan kami tinggikan sebutan (nama)mu bagimu. Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan) tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya kepada tuhanmulah engkau berharap.” QS 94 : 1 – 8
Dari dua firman Allah diatas menunjukkan bahwa manusia didorong untuk memiliki ketahanan dan daya lenting setelah mendapatkan masalah, karena sesungguhnya masalah yang kita hadapi adalah sesuai kapasitas kita dan masih dapat kita atasi. Keimanan kita belum dikatakan tangguh jika belum teruji, melalui masalah, cobaan dan godaan lainnya merupakan sebuah ujian keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Orang yang sabar dan tabah merupakan salah satu ciri bahwasannya ia memiliki daya resilien, kesabaran dan ketabahan sendiri merupakan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia. Tingkatan kesabaran dan ketabahan seseorang berbeda-beda, perlu dilatih agar sabar itu dapat tumbuh dalam diri seseorang. Itulah alasannya agama islam selalu mengajak umatnya agar menjadi hamba yang sabar, dan Allah mencintai hamba-Nya yang sabar.











BAB III
Kesimpulan
Resiliensi (daya lentur, ketahanan) adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah
a.       External support (I HAVE)
b.      Inner Strength (I AM)
c.       Problem Solving (I CAN)
Komponen yang ada dalam resiliensi adalah :
a)      Regulasi emosi,
b)      Pengendalian impuls
c)      Optimisme
d)     Empati
e)      Analisis penyebab masalah,
f)       Efikasi diri, dan
g)      Peningkatan aspek positif,
Proses pembentukan kemampuan resiliensi melalui lima tahap resilience building blocks yang dimulai sejak anak berusia dini, yaitu trust (usia 1 tahun), autonomy (2-3 tahun), initiative (4-5 tahhun), industry (6-11 tahun), identity (usia remaja).
Islam mengajarkan dan mendorong manusia untuk segera bangkit dari masalah dengan menyelesaikannya dan segera kembali semangat menjalani kehidupan seperti biasa seperti sebelum ia mendapatkan masalah. Masalah yang tuhan berikan kepada kita adalah masalah yang masih berada dalam kapasitas (kemampuan) kita. Dan Allah akan memberikan balasan kebaikan yang setimpal bagi orang yang tahan (resilien) terhadap masalah (ujian) yang Allah berikan kepadanya.


Daftar Pustaka
Desmita. 2011. Psikologi perkembangan peserta didik panduan bagi orang tua dan guru dalam memahami Psikologi anak usia SD, SMP dan SMA. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Indah Ria Sulistyarini. Pengaruh Pelatihan Kebersyukuran untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Penyandang Cacat. Jurnal psikologi UII Yogyakarta.
Ihsana Sabriani Borualogo dan Sawitri Supardi Sadorjoen. Penerapan paradigma grotberg (I HAVE, I AM DAN I CAN) dalam Membangun Pribadi yang Resilien Pada Anak Muslim. Jurnal psikologi UNPAD Bandung.
Rizkia Nurinayanti dan Atiudina. Makna Kebersyukuran dan Resiliensi : Telaah Pustaka Tentang Pengaruh Kebersyukuran dan Pengaruhnya Terhadap Daya Resiliensi Pada Korban Erupsi Merapi DIY 2010. Jurnal psikologi UGM
Zahrotul uyun. 2012. Resiliensi dalam pendidikan karakter .Fakultas psikologi universitas Muhammadiyah surakarta. Prosiding seminar nasional psikologi islami 2012. Hal. 200-208. (publikasiilmiah.ums.ac.id)


[1] Desmita. Psikologi perkembangan peserta didik panduan bagi orang tua dan guru dalam memahami Psikologi anak usia SD, SMP dan SMA. (bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2011) cet. Ke 3. Hlm. 199.
[2] Ibid.,199.
[3] Ibid., 199-200
[4] Indah ria sulistyarini. Pengaruh pelatihan kebersyukuran untuk meningkatkan resiliensi pada penyandang cacat. Jurnal UII. Hal. 231.
[5] Desmita. Psikologi perkembangan peserta didik panduan bagi orang tua dan guru dalam memahami Psikologi anak usia SD, SMP dan SMA. (bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2011) cet. Ke 3. Hlm. 200-201.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar