BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Islam dengan hukum hukum dan aturan
yang termuat didalamnya telah mengatur segala tingkah laku manusia didunia,
tingkah laku perorangan hingga kelompok telah diatur oleh islam agar setiap
manusia menempuh jalan yang bisa
mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagian dunia dan akhirat. Dalam
hidupnya, seorang individu pastilah memiliki banyak pengalaman, baik itu yang
menyenangkan hingga yang tidak menyenangkan. Dalam setiap pengalaman yang
dilalui seseorang niscaya ada masalah didalamnya, dan masalah setiap orang pastilah berbeda beda.
Dengan adanya masalah manusia menjadi selalu berpikir untuk menjadi lebih baik,
dengan adanya masalah itulah seseorang menjadi dewasa. Setiap masalah tidaklah
memiliki jalan keluar yang sama, ada yang cepat teratasi namun juga ada yang
memerlukan pengorbanan besar untuk menyelesaikanya. Begitu juga individu yang
memiliki masalah itu, ada yang tahan terhadap masalahnya namun juga ada yang
tidak kuat dalam menyelesaikannya bahkan mereka rela berbuat dosa besar karena mereka
merasa tidak dapat menyelesaikannya. Bagaimana islam mengajarkan manusia dalam
menghadapi masalah? Apakah Allah memberikan masalah kepada manusia tanpa
melihat kemampuan hamba-Nya?. Dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan
hubungan islam dengan kemampuan untuk bangkit dari masalah (resilience), semoga
dengan penulisan makalah ini para pembaca dapat mengetahui apa itu resiliensi
dan bersikap positif terhadap setiap masalah yang kita hadapi.
2.
Rumusan
masalah :
A.
Pengertian
B.
Faktor
– Faktor Resiliensi
C.
Komponen
Resiliensi
D.
Tahap
Pembentukan Resiliensi
E.
Ajaran
Islam Tentang Resiliensi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Istilah resiliensi
diintrodusir oleh Redl pada tahun 1969 dan digunakan untuk menggambarkan bagian
positif dari perbedaan individual dalam respons seseorang terhadap stress dan
keadaan yang merugikan (Adversity) lainnya (smet, 1994).[1]
Istilah resiliensi sendiri muncul sebagai pengganti istilah istilah
sebelumnya seperti : “invulnerable” (kekebalan), “invincible” (ketangguhan),
dan “hady” (kekuatan), karena dalam proses menjadi resilien tercakup
pengenalan rasa sakit, perjuangan dan penderitaan (Henderson & Milstein,
2003).[2]
Meskipun istilah resiliensi
telah diterima dan digunakan secara luas, namun belum terdapat kesesuaian dalam
memberikan definisi tentang resiliensi itu. jika diartikan dalam bahasa
Indonesia, pengertian resiliency malah mungkin akan membingungkan,
seperti gaya pegas, gaya kenyal, kegembiraan, keuletan (Echols & Shadily,
1997).[3]
Berikut ini beberapa pengertian resiliensi menurut para ahli :
Resiliensi adalah “the
human capacity to face, overcome, be strengthened by, and even be transformed
by experiences of adversity”(Grotberg, 1999 : 10).
Sedangkan Werner (2003 : 7)
mendefinisikan resiliensi sebagai “the capacity to spring back,
rebound, successfully adapt in the face of adversity, and develop social
academic, and vocational competence despite exposure to severe stress or simply
to the stress that is inherent in today’s world”.
Sementara itu Richardson, dkk (1990
: 7) mendefinisikan resiliensi sebagai “the process of coping with
disruptive, stressful, or challenging life events in way that provides the individual
with additional protective and coping skills than prior to the disruption that
result from the event”.
Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika
berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola
tekanan hidup sehari-hari (revich dan Shatte, 2002).[4]
Dari beberapa pengertian diatas
dapat dipahami bahwa resiliensi (daya lentur, ketahanan) adalah kemampuan atau
kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang
memungkinkannya menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang
tidak menyenangkan, atau mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi
suatu hal yang wajar untuk diatasi (Desmita, 2005).[5]
B.
Faktor
Faktor Resiliensi
Secara
umum resiliensi dipengaruhi oleh dua hal yaitu : Pertama kemampuan adaptasi seseorang,
ketika seseorang memiliki kemampuan adaptasi yang baik, namun tidak berada
dalam kondisi yang beresiko maka belum dapat dikatakan sebagai seseorang yang
resilien. Kedua, besarnya resiko yang dihadapi, ketika seseorang dalam
keadaan yang beresiko namun ia tidak dapat beradaptasi dengan baik maka ia juga
belum dapat dikatakan sebagai seorang yang resilien. Jadi, dengan melihat
kemampuan adaptasi dan besarnya resiko yang dihadapi seseorang kita dapat
mengetahui apakah ia seorang yang resilien atau tidak.
Grotberg menjelaskan faktor faktor resiliensi
yang dapat membantu individu mengatasi berbagai adversities. Grotberg
(2003 : 3-4) mengelompokkannya menjadi 3 faktor yaitu :
1)
External
support
External support merupakan
faktor-faktor diluar individu yang dapat meningkatkan kemampuan resilien.
Grotberg menjelaskan sebagai I HAVE, yaitu :
a.
Satu
atau lebih angggota keluarga yang dapat dipercaya dan mencintai individu
tersebut
b.
Satu
atau lebih individu di luar keluarga yang dapat dipercaya.
c.
Memiliki
batasan bertingkah laku,
d.
Orang
orang yang memberikan semangat untuk mandiri.
e.
Good
role models
f.
Akses
untuk mendaptkan fasilitas kesehatan, pendidikan dan sosial yang dibutuhkan,
g.
Keluarga
komunitas yang stabil
2)
Inner
Strength (I AM)
Merupakan sesuatu yang dimiliki
individu yang akan berkembang sepanjang waktu. Grotberg menjelaskannya sebagai
kualitas yang dimiliki individu yang dijelaskan sebagai I am.
Diantaranya adalah kepercayaan diri atas kemampuan pribadi, optimis, disukai
banyak orang, memiliki keinginan untuk meraih prestasi dimasa depan, empati dan
kualitas diri lainnya.
3)
Problem
Solving (I CAN)
Yang termasuk dalam hal ini adalah
kemampuan memunculkan ide ide baru, mampu menyelesaikan tugas, menggunakan
humor untuk meredakan ketegangan, mampu menyampaikan pemikiran dan perasaan
ketika berkomunikasi dengan orang lain, mampu menyelesaikan berbagai masalah
(akademik, pekerjaan, personal dan sosial), mampu mengendalikan tingkah laku
(perasaan, impuls) serta mampu meminta bantuan ketika dibutuhkan.
C.
Komponen
Resiliensi
Resiliensi
mencakup tujuh komponen, yaitu: regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme,
analisis penyebab masalah, empati, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif
(Reivich dan Shatte, 2002), yang dijelaskan sebagai berikut :
a)
Regulasi
emosi, adalah
kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi yang penuh tekanan. Individu yang
memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang marah
dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau kesal sehingga mempercepat dalam
pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif,
merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat.
Pengekpresian emosi yang tepat merupakan salah satu kemampuan individu yang
resilien.
b)
Pengendalian
impuls, merupakan kemampuan mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri
seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami
perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran.
Individu mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif
pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan
sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya
permasalahan dalam hubungan sosial.
c)
Optimisme, individu yang
resilien adalah individu yang optimis. Individu memiliki harapan di masa depan
dan percaya dapat mengontrol arah hidupnya. Dibandingkan dengan individu yang
pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, tidak mengalami
depresi, berprestasi lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan
lebih berprestasi dalam olahraga. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu
percaya dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang.
d)
Empati, menggambarkan
bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain.
Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan
kebutuhan emosi orang lain.
e)
Analisis
penyebab masalah, yaitu merujuk
pada kemampuan individu untuk secara akurat mengidentifikasi penyebab-penyebab
dari permasalahan individu. Jika individu tidak mampu memperkirakan penyebab
dari permasalahannya secara akurat, maka individu akan membuat kesalahan yang
sama.
f)
Efikasi
diri, merupakan
keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah
dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil
dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah
ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil.
Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam
menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena memiliki kepercayaan
yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini akan cepat menghadapi masalah
dan mampu bangkit dari kegagalan yang dialami.
g)
Peningkatan
aspek positif, Resiliensi
merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup .
Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek
ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak
realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran
besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan
lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam
meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.
D.
Tahap
Pembentukan Resiliensi
Grotberg menjelaskan proses
pembentukan kemampuan resiliensi melalui lima tahap resilience building
blocks yang dimulai sejak anak berusia dini, yaitu trust (usia 1 tahun),
autonomy (2-3 tahun), initiative (4-5 tahhun), industry (6-11 tahun), identity
(usia remaja) dimana tahap tersebut individu akan mengembangkan I Have, I Am
dan I Can. Tahap-tahap tersebut diterangkan sebagai berikut :
1)
Trust
Merupakan tahap resiliensi yang
paling dasar, trust adalah trait yang mengindikasikan bahwa individu dapat
mempercayai orang lain berkaitan dengan hidupnya, kebutuhan-kebutuhannya dan
perasaan-perasaannya. Trust juga mengindikasikan bahwa individu dapat
mempercayai diri sendiri, kemampuan-kemampuan pribadi dan masa depannya.
2)
Autonomy
Merupakan tahap pembentukan resiliensi
kedua, autonomy menunjukkan kesadaran individu bahwa dirinya terpisah dari
orang lain. Kesadaran ini memungkinkan individu untuk memahami bahwa individu
mendapatkan respons dari lingkungannya dan sebaliknya.
3)
Initiative
Pada tahap ini, individu mulai
mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya untuk menjadi orang yang resilien.
Individu mengembangkan inisiatif, menuntaskan penyelesaian tugas-tugas, ingin
membantu anggota keluarga dan teman dalam melakukan berbagai aktivitas.
4)
Industry
Kemampuan individu untuk
meningkatkan kemampuan sosialnya sangat dibutuhkan dalam tahap ini. Seorang
individu mempunyai keinginan untuk sukses dan memiliki self image untuk
berprestasi, ingin mendapat pengakuan dari orang sekitarnya,guru, orang tua,
teman sebaya bahwa individu telah berusaha keras untuk menunjukkan prestasi.
5)
Identity
Merupakan tahap terakhir dari
resiliensi building blocks menurut grotberg, pada tahap ini individu mencampai
identitas yang mencangkup dua hal penting, yaitu kematangan seksual dan
mengembangkan kapabilitas mental yang tinggi untuk menganalisis dan
merefleksikan diri.
E.
Ajaran
Islam tentang Resiliensi
Konsep resiliensi memiliki kesamaan dengan ajaran Hijrah dalam
Islam. Hijrah berarti At-Tarku yang artinya berpindah atau
meninggalkan, baik meninggalkan tempat maupun meninggalkan sesuatu yang tidak baik.
Secara terminologi Hijrah mengandung dua makna, yaitu Hijrah Makaniyah
(tempat/fisik) dan Hjrah Maknawiyah (Hijrah mental) atau disebut juga hijrah
qalbiyah (hijrah hati). Hijrah Makaniyah artinya berpindah dari suatu tempat
yang kurang baik menuju tempat yang lebih baik, dari suatu negeri ke negeri
lain yang lebih baik. Sedangkan Hijrah Maknawiyah artinya berpindah dari nilai
yang kurang baik menujunilai yang lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran.
Perpindahan dari hal yang bersifat negatif menuju hal yang bersifat positif.
Lebih lanjut pengembangan resiliensi dalam Islam didukung oleh beberapa faktor,
antara lain: Ikhtiar, Tawakkal, Sabar, Ikhlas, Syukur dan Istiqomah. Selain itu
pengembangan resiliensi juga dipengaruhi faktor eksternal, yang dalam Islam
diajarkan kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian.
Al-qur’an sebagai petunjuk umat-Nya
merupakan kitab yang mengatur kehidupan manusia paling lengkap, demikian juga
tentang bangkit dari keterpurukan (resiliensi). Dalam QS Al Baqarah ayat 214 Allah
berfirman :
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ
مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ
وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا
مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum
kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai
cobaan), sehingga rasul dan orang orang bersamanya berkata ‘kapankah datang
pertolongan allah?’ ingatlah sesungguhnya pertolongan allah itu dekat”.
Kemudian dalam QS Al Baqarah : 155-156 Allah berfirman :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ
مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ﴿١٥٥﴾ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ
مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴿١٥٦﴾
“Dan kami menguji kamu
dengan dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah
buahan, dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar ◌ (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna lillaahi wa
innaa ilaihi raaji'uun’ ”.
Firman Allah tersebut dapat
diartikan bahwa tak ada satupun orang didunia ini yang tidak diberi masalah
oleh Allah, orang-orang di zaman kita, sebelum kita bahkan generasi penerus
kita pasti akan memiliki masalah. Dengan menyerahkan segala apa yang terjadi
kepada Allah dan segala apa yang ada di dunia ini adalah milikNya membuat jiwa
seseorang akan merasa tenang dan menghindarkan diri dari sikap kekecewaan dan
putus asa. Dan hanya orang orang yang mampu bertahan untuk menyelesaikan
masalah dan mampu bangkit kembali yang akan mendapatkan kesenangan dari Allah
sebagai balasan atas keberhasilannya menghadapi masalah. Dari situ dapat kita
pahami bahwasannya resiliensi dalam islam merupakan sebuah kewajiban, dengan
memiliki resiliensi berarti seorang hamba telah teruji keimanannya dan
ketangguhannya sebagai seorang muslim. Dalam sebuah hadits dikatakan
bahwasannya allah mencintai hambanya yang kuat daripada hambanya yang lemah.
Allah berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا
وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya...” QS. 2 : 286
Kemudian :
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ ﴿١﴾
وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ ﴿٢﴾ الَّذِي أَنْقَضَ
ظَهْرَكَ ﴿٣﴾ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ ﴿٤﴾ فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿٥﴾
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿٦﴾ فَإِذَا
فَرَغْتَ فَانْصَبْ﴿٧﴾ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ ﴿٨﴾
“Bukankah kami telah melapangkan dadamu
(muhammad)? Dan kami telah menurunkan bebanmu darimu. Yang memberatkan
punggungmu. Dan kami tinggikan sebutan (nama)mu bagimu. Maka sesungguhnya
bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari
sesuatu urusan) tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan hanya
kepada tuhanmulah engkau berharap.” QS
94 : 1 – 8
Dari dua firman Allah diatas
menunjukkan bahwa manusia didorong untuk memiliki ketahanan dan daya lenting
setelah mendapatkan masalah, karena sesungguhnya masalah yang kita hadapi
adalah sesuai kapasitas kita dan masih dapat kita atasi. Keimanan kita belum
dikatakan tangguh jika belum teruji, melalui masalah, cobaan dan godaan lainnya
merupakan sebuah ujian keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Orang yang
sabar dan tabah merupakan salah satu ciri bahwasannya ia memiliki daya
resilien, kesabaran dan ketabahan sendiri merupakan potensi yang dimiliki oleh
setiap manusia. Tingkatan kesabaran dan ketabahan seseorang berbeda-beda, perlu
dilatih agar sabar itu dapat tumbuh dalam diri seseorang. Itulah alasannya
agama islam selalu mengajak umatnya agar menjadi hamba yang sabar, dan Allah
mencintai hamba-Nya yang sabar.
BAB III
Kesimpulan
Resiliensi (daya lentur, ketahanan)
adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau
masyarakat yang memungkinkannya menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari
kondisi yang tidak menyenangkan, atau mengubah kondisi kehidupan yang
menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah
a.
External
support (I HAVE)
b.
Inner
Strength (I AM)
c.
Problem
Solving (I CAN)
Komponen yang ada dalam resiliensi adalah :
a)
Regulasi emosi,
b)
Pengendalian
impuls
c)
Optimisme
d)
Empati
e)
Analisis
penyebab masalah,
f)
Efikasi
diri, dan
g)
Peningkatan
aspek positif,
Proses pembentukan kemampuan
resiliensi melalui lima tahap resilience building blocks yang dimulai
sejak anak berusia dini, yaitu trust (usia 1 tahun), autonomy (2-3 tahun),
initiative (4-5 tahhun), industry (6-11 tahun), identity (usia remaja).
Islam mengajarkan dan mendorong
manusia untuk segera bangkit dari masalah dengan menyelesaikannya dan segera
kembali semangat menjalani kehidupan seperti biasa seperti sebelum ia
mendapatkan masalah. Masalah yang tuhan berikan kepada kita adalah masalah yang
masih berada dalam kapasitas (kemampuan) kita. Dan Allah akan memberikan
balasan kebaikan yang setimpal bagi orang yang tahan (resilien) terhadap
masalah (ujian) yang Allah berikan kepadanya.
Daftar Pustaka
Desmita. 2011. Psikologi perkembangan peserta didik panduan bagi
orang tua dan guru dalam memahami Psikologi anak usia SD, SMP dan SMA. Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya
Indah Ria Sulistyarini. Pengaruh Pelatihan Kebersyukuran untuk
Meningkatkan Resiliensi Pada Penyandang Cacat. Jurnal psikologi UII Yogyakarta.
Ihsana Sabriani Borualogo dan Sawitri Supardi Sadorjoen. Penerapan
paradigma grotberg (I HAVE, I AM DAN I CAN) dalam Membangun Pribadi yang
Resilien Pada Anak Muslim. Jurnal psikologi UNPAD Bandung.
Rizkia Nurinayanti dan Atiudina. Makna Kebersyukuran dan Resiliensi
: Telaah Pustaka Tentang Pengaruh Kebersyukuran dan Pengaruhnya Terhadap Daya
Resiliensi Pada Korban Erupsi Merapi DIY 2010. Jurnal psikologi UGM
Zahrotul uyun.
2012. Resiliensi dalam pendidikan karakter .Fakultas psikologi universitas Muhammadiyah
surakarta. Prosiding seminar nasional psikologi islami 2012. Hal. 200-208. (publikasiilmiah.ums.ac.id)
[1]
Desmita. Psikologi perkembangan peserta didik panduan bagi orang tua dan
guru dalam memahami Psikologi anak usia SD, SMP dan SMA. (bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2011) cet. Ke 3. Hlm. 199.
[2]
Ibid.,199.
[3]
Ibid., 199-200
[4]
Indah ria sulistyarini. Pengaruh pelatihan kebersyukuran untuk meningkatkan
resiliensi pada penyandang cacat. Jurnal UII. Hal. 231.
[5]
Desmita. Psikologi perkembangan peserta didik panduan bagi orang tua dan
guru dalam memahami Psikologi anak usia SD, SMP dan SMA. (bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2011) cet. Ke 3. Hlm. 200-201.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar