Selasa, 07 Januari 2014

Islam dan Keadilan



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Keadilan merupakan salah satu prinsip moral dasar bagi kehidupan manusia. Syari'at Islam yang diturunkan dari Allah telah menanamkan dasar keadilan dalam masyarakat muslim yang tidak ada duanya. Hal ini karena ia mengaitkan terealisasinya keadilan dengan Allah, Allah lah yang memerintah untuk berbuat adil, dan Dialah yang mengawasi pelaksanaannya dalam kehidupan nyata, Dia yang memberi pahala bagi yang melaksanakannya, dan menjatuhkan siksa bagi yang mengabaikannya dalam segala situasi dan kondisi.
Islam memerintahkan umatnya untuk berbuat adil dengan semua orang, memerintah mereka berbuat adil dengan orang yang mereka cintai dan orang yang mereka benci, ia menginginkan mereka adil secara mutlak hanya karena Allah, bukan karena sesuatu yang lain, standarnya tidak dipengaruhi oleh kecintaan dan kebencian; rasa cinta tidak mendorong umat Islam yang bertakwa meninggalkan kebenaran dan condong kepada kebatilan karena orang yang mereka cintai, dan kebencian tidak menghalangi mereka melihat kebenaran dan memperhatikannya karena orang yang mereka benci. Namun hakikatnya manusia adalah mahluk yang memiliki rasa egois, menang sendiri, dan merasa benar. Terkadang hal inilah yang menyebabkan sulitnya menegakkan rasa keadilan itu sendiri.
Semoga, dibuatnya makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi pembacanya dan meningkatkan diri untuk mewujudkan keadilan  yang hakiki di negeri ini.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana hubungan antara Islam dan keadilan?
2.    Bagaimana macam-macam keadilan dalam Islam?
3.    Bagaimana hal-hal yang berkaitan dengan Islam dan Keadilan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Hubungan antara Islam dan Keadilan
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisaa’ : 135)
Islam adalah agama kesatuan antara ibadah dan mu’amalah, antara akidah dan perbuatan, material dan spiritual, nilai-nilai ekonomi dan nilai-nilai moral, dunia dan akhirat, bumi dan langit. Nilai-nilai keadilan dalam Islam bukan hanya pada ekonomi dan material, tetapi mencakup seluruh nilai-nilai maknawiyah dan ruhaniyah.[1]
Ada bermacam-macam pengertian keadilan, menurut sudut pandang tertentu, dan aliran tertentu, di antaranya:
Menurut pandangan Islam, keadilan adalah persamaan kemanusiaan yang memperhatikan pula keadilan pada semua nilai yang mencakup segi-segi ekonomi yang luas, membiarkan individu melakukan pekerjaan dan memperoleh imbalan dalam batas yang tidak bertentangan dengan tujuan hidup yang mulia.[2]
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W. J. S. Poerwadarminta, kata adil  berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak ataupun tidak sewenang-wenang.[3]
Kata adil digunakan dalam empat hal, yaitu:[4]
1)      Keseimbangan. Adil di sini berarti seimbang. Apabila kita melihat suatu sistem atau himpunan yang memiliki beragam bagian yang dibuat untuk tujuan tertentu, maka mesti ada sejumlah syarat, entah ukuran yang tepat pada setiap bagian dan pola kaitan antarbagian tersebut. Kajian tentang keadilan sebagai lawan ketidakseimbangan, akan muncul jika kita melihat sistem alam sebagai keseluruhan.
2)      Persamaan dan Nondiskriminasi. Maksudnya ialah persamaan dan penafian terhadap diskriminasi dalam bentuk apa pun. Contoh: Fulan memandang semua individu secara sama rata, tanpa melakukan pembedaan dan pengutamaan. Dalam hal ini, keadilan adalah terpeliharanya persamaan pada saat kelayakan memang sama. Jika sebaliknya, justru identik dengan kezaliman.
3)      Pemberian Hak kepada Pihak yang Berhak. Yaitu pemeliharaan hak-hak individu dan pemberian hak kepada setiap objek yang layak menerimanya. Pengertian keadilan di sini lebih condong pada keadilan sosial, yakni keadilan yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu benar-benar harus berjuang untuk menegakkannya. Keadilan ini mencakup dua hal: 1) Hak dan prioritas, adanya berbagi hak dan prioritas sebagian individu bila kita bandingkan dengan sebagian lain. Contoh: bayi atas air susu ibunya dan air susu ibunya atas usaha ibunya. 2) Karakter khas manusia, yang tercipta karena manusia menggunakan sejumlah ide i’tibari tertentu sebagai alat kerja sebagai perantara untuk mencapai tujuannya agar tiap individu bisa meraih kebahagiaan dalam bentuk yang lebih baik, semua hak dan prioritas itu mesti dipelihara.
4)      Pelimpahan Wujud Berdasarkan Tingkat dan Kelayakan. Adalah tindakan memelihara kelayakan dalam pelimpahan wujud, dan tidak mencegah limpahan atau rahmat pada saat kemungkinan untuk mewujudkan pada sesuatu itu telah tersedia. Allah hanya akan memberikan wujud atau kesempurnaan wujud kepada setiap maujud sesuai dengan yang mungkin diterimanya terkairt kemampuannya menerima emanasi tersebut. Keadilan Allah sesungguhnya identik dengan kedermawanan dan kemurahan Nya.
Jadi, makna keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan pada pokoknya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban.[5]
B.     Macam-Macam Keadilan dalam Islam[6]
1.      Islam menyuruh adil dalam berbicara, walaupun perkataan ini membuat keluarga kita marah: _Dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu) _ (QS. al An'am: 152)
2.      Islam menyuruh adil dalam kesaksian jika kita diminta untuk bersaksi, walaupun kesaksian ini menyulitkan kita atau menyulitkan orang yang disaksikan, karena ia adalah kesaksian karena Allah: _Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. _ (QS. ath Thalaq: 2)
_Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. _ (QS. al Maidah: 8)
3.      Islam menyuruh adil dalam memutuskan hukum, Allah berfirman: _Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. _ (QS. an Nisaa': 58)
C.     Hal-Hal yang Berkaitan dengan Islam dan Keadilan
Keadilan berkaitan dengan banyak hal. Dari mulai hal-hal yang sederhana sampai hal yang kompleks, di antaranya adalah sebagai berikut:
Ø  Manusia dan Keadilan
Berdasarkan kodratnya, manusia mempunyai tiga dimensi dan harus dalam keadaan seimbang, yang menyebabkan ia dapat dianggap sebagai manusia yang utuh.[7]
1.      Sebagai pribadi, begitu lahir di dunia manusia memiliki hak-hak asasi sekaligus kewajiban-kewajiban asasi. Hal yang paling asasi adalah hak untuk hidup, selain hak untuk menentukan pilihan sesuai dengan akal budinya dalam mengupayakan kebahagiaan hidupnya dan penyempurnaan dirinya. Ia merasa berlaku adil bila ia bertindak sesuai dengan hati nuraninya.
2.      Sebagai anggota masyarakat, ia tidak berdiri sendiri. Manusia wajib mendukung kehidupan sesamanya, dimulai dengan mendukung kesejahteraan keluarganya, mendukung kesejahteraan masyarakat di lingkungannya, lebih luas lagi mendukung kesejahteraan bangsanya, dan selanjutnya sebagai anggota umat manusia sedunia wajib mendukung kesejahteraan dunia.
3.      Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia sadar bahwa dirinya ada yang menciptakan, sehingga semua tindakannya tidak lepas dari kontrol diri sesuai dengan tuntutan Sang Pencipta. Ia sadar bahwa tindakannya akan dikatakan tidak adil bila menyalahi aturan yang telah digariskan oleh Tuhan, yang secara khusus ada dalam aturan agama dan kepercayaan yang dianutnya, dan secara umum terkandung dalam hukum alam semesta sebagai manifestasi kekuasaan Sang Pencipta. Ia harus bersikap adil terhadap semua ciptaan Tuhan, baik yang bersifat makhluk hidup yang berupa manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, maupun yang bersifat benda tidak hidup, yang berada dalam bumi air, dan angkasa.
Ø  Kedudukan Pemimpin yang Adil[8]
Jabatan pemimpin adalah amanat yang berat; karena ia tergantung pada keadilan mutlak yang telah ditanamkan pondasinya oleh Islam dalam masyarakat muslim, oleh karena itu kedudukan pemimpin yang adil di sisi Allah sangat tinggi, karena ia menduduki urutan pertama dalam tujuh golongan yang akan diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naunganNya, sebagaimana sabda Rasulullah _:
«Tujuh golongan yang akan diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naunganNya: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, orang yang hatinya selalu terpaut kepada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah atas dasar kecintaan kepada Allah, seorang lelaki yang diajak berbuat serong oleh wanita cantik lalu ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, dan orang yang bersedekah lalu ia menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, dan orang yang mengingat Allah di waktu sepi lalu air matanya berlinang _ (Muttafaq ‘alaih)
Ø  Keadilan Sosial dalam Islam
Asas-asas di mana Islam menegakkan keadilannya itu adalah:
1)      Kebebasan jiwa yang mutlak
Islam benar-benar memulai dengan melakukan pembebasan jiwa dari segala bentuk peribadatan dan ketundukan kepada apapun selain Allah.[9]
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾  اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (Q.S. Al-Ikhlash: 1-4)
Al-Qur’an berulangkali menetapkan dan menjelaskan akidah ini agar sampai pada pembebasan jiwa manusia dari berbagai syirik dan kultus ketuhanan yang merongrong hati mereka dan menundukkannya untuk menyembah makhluk Allah, baik dia itu seorang Nabi atau Rasul, sebab ia semata-mata hanyalah hamba Allah.[10] Sehingga ia tidak akan terpengaruh oleh perasaan takut menghadapi kehidupan, takut mendapatkan rezeki, dan takut memperoleh tempat tinggal yang layak. Akan tetapi, Islam dengan kekuatannya mendorong terwujudnya kehormatan dan keluhuran martabat manusia, serta tujuannya mengokohkan kebesaran jiwa dalam membela kebenaran dalam diri mereka, dan dengan semuanya itu ia memberi jaminan terwujudnya keadilan sosial yang mutlak, lebih dari sekadar pelaksanaan syari’at belaka, maka ia sama sekali tidak mengabaikan manusia.[11]
2)      Persamaan Kemanusiaan
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. Al-Mu’minun: 12-14)
Al-Qur’an menetapkan pengertian ini di berbagai tempat, untuk menetapkan bahwa manusia ini memiliki asal dan sumber kejadian yang satu, semuanya berasal dari tanah, dan setiap individu, tidak ada kecualinya, semuanya berasal dari sperma yang hina, dan Rasulullah pun menetapkan arti semacam ini pula dalam berbagai haditsnya, antara lain: “Kamu sekalian adalah anak cucu Adam, dan Adam berasal dari tanah”. (HR. Abu Dawud)
Islam memerangi segala bentuk perbedaan dan diskriminasi beserta sebabnya agar supaya semuanya dapat dimusnahkan. Sementara itu, Nabi Muhammad tidak lupa diingatkan oleh Al-Qur’an bahwasanya ia hanyalah seorang manusia biasa seperti halnya manusia lain. Karena ia seorang Nabi yang sangat dicintai oleh kaumnya, maka dikhawatirkan kecintaan mereka itu akan berubah menjadi kultus individu. “Janganlah kalian bersikap kepadaku seperti sikap orang-orang Nashrani kepada Isa putera Maryam. Aku tiada lain adalah hamba Nya semata, maka sebut sajalah aku ‘Abdullah (hamba Allah) dan Rasul Nya.” (HR. Bukhari)[12]
Dalam masalah kelamin, Islam telah memberikan jaminan yang sama dan sempurna kepada kaum wanita sejajar dengan kaum pria, kecuali dalam beberapa segi yang berkaitan dengan karakteristik biologis dan tabiat masing-masing jenis kelamin yang tidak sampai berpengaruh pada kedudukan hakiki jenis kelamin manusia.[13]
Adapun dalam keagamaan, kedua jenis makhluk ini, pria dan wanita, sama derajat.
وَمَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
"Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun." (Q.S. An-Nisa’ : 124)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan". (Q.S. An-Nahl : 97)
Dalam kepemilikan harta dan penggunaannya dalam bidang ekonomi, mereka pun sama.[14]
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (Q.S. An Nisa’ : 32)
Tentang kelipatan bagian kaum pria dan wanita dalam harta peninggalan warisan, maka rujukannya adalah pada watak kaum pria dalam kehidupan, ia menikahi wanita bertanggungjawab terhadap nafkah keluarganya selain bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarganya itu.[15]
Sedangkan dalam persoalan kepemimpinan kaum pria atas wanita seperti yang tertera dalam Al-Qur’an:[16]
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka... (Q.S. An-Nisa’ : 34)
Semua manusia mempunyai kehormatannya masing-masing yang harus dihargai.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Hujuraat : 12)
3)      Jaminan Sosial
Islam menetapkan prinsip baik buruk yang ada pada individu dalam menerima kebebasannya, dan menetapkan pula kaidah-kaidah semacam itu bagi masyarakat yang mencakup tanggung jawab individu dan masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan jaminan sosial. Ada jaminan antara individu dengan dirinya sendiri, antara individu dengan keluarga dekatnya, antara individu dengan masyarakat, antara ummat dengan ummat lainnya, dan antara satu lapisan masyarakat dengan lapisan lainnya secara timbal balik.[17]
Jaminan individu terhadap dirinya sendiri adalah suatu jaminan untuk tidak membiarkan dirinya memperturutkan hawa nafsunya, mensucibersihkannya, menempuh jalan yang baik dan selamat, serta tidak menjerumuskan diri dalam kehancuran.
Adapun orang yang melampaui batas, Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). (Q.S. An-Naazi’at : 37-41)
Prinsip baik-buruk dalam Islam dikemukakan secara lengkap, mencakup setiap orang dengan amalnya maupun setiap orang dengan apa yang dikerjakannya.
Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya, Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, (Q.S. An-Najm : 36-41)
Jaminan seseorang terhadap kaum kerabatnya yang dekat.
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[850]. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil". (Q.S. Al-Israa’ : 23-24)
Gambaran adanya saling menjamin antara keluarga dalam Islam terlihat dalam bentuk warisan harta.
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (Q.S. An-Nisaa’ : 12)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut pandangan Islam, keadilan adalah persamaan kemanusiaan yang memperhatikan pula keadilan pada semua nilai yang mencakup segi-segi ekonomi yang luas, membiarkan individu melakukan pekerjaan dan memperoleh imbalan dalam batas yang tidak bertentangan dengan tujuan hidup yang mulia.
Kata adil digunakan dalam empat hal, yaitu: keseimbangan, persamaan dan nondiskriminasi, pemberian hak kepada pihak yang berhak, serta pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan.
Macam-macam keadilan dalam Islam di antaranya: keadilan dalam berbicara, keadilan dalam menjadi saksi dan keadilan dalam memutuskan hukum.
Manusia dalam keadilan memiliki tiga dimensi, yaitu: sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Islam menegakkan keadilan sosial dan realisasi keadilan kemanusiaan dengan tiga asas keadilan: kebebasan jiwa yang mutlak, kesamaan kemanusiaan yang sempurna, dan jaminan sosial yang kokoh. Islam memberikan kebebasan yang penuh dan sempurna kepada setiap individu dalam batas yang sama sekali tidak merusak dan tidak pula menutup jalan bagi masyarakat. Ia memberi hak-hak kepada masyarakat, dan dalam waktu yang sama menjamin realisasi hak-hak tersebut.









DAFTAR PUSTAKA
Aryandini, Woro. 2000. Manusia Dalam Tinjauan Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Hamka. 1984.  Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Muthahhari, Murtadha. 2009. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan-Dunia Islam. Bandung: Mizan.
Quthb, Sayyid.1994. Keadilan Sosial Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.
Widagdho, Djoko, dkk. 1994. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.


[1] Sayyid Quthb. Keadilan Sosial Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1994). Cet. Ke-2. Hlm. 34.
[2] Ibid., hlm. 37.
[3] Woro Aryandini. Manusia Dalam Tinjauan Ilmu Budaya Dasar. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2000). Cet. Ke-1. Hlm. 62.
[4] Murtadha Muthahhari. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan-Dunia Islam. (Bandung: Mizan, 2009). Edisi Baru. Cet. Ke-1. Hlm. 60-68.
[5] Djoko Widagdho, dkk. Ilmu Budaya Dasar. (Jakarta: Bumi Aksara, 1994). Cet. Ke-4. Hlm. 103.
[7] Woro Aryandini. Manusia Dalam Tinjauan Ilmu Budaya Dasar. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2000). Cet. Ke-1. Hlm. 62.
[8] Hamka. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Cet. Ke-1. Hlm. 191.
[9] Sayyid Quthb. Keadilan Sosial Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1994). Cet. Ke-2. Hlm. 45.
[10] Ibid., hlm. 48.
[11] Ibid., hlm. 49-50.
[12] Ibid., hlm. 69.
[13] Ibid., hlm. 70.
[14] Ibid. hlm. 71.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hlm. 80.